Selasa, 24 Januari 2012

Diari Cinta Anak SMA (Cerpen)



http://iwaza.files.wordpress.com/2011/02/2051-gita_cinta_dari_sma.jpg?w=500Pagi hari itu langit cerah. Langit membiru berpadu indah dengan guratan-guratan kuas Sang Pencipta yang menciptakan  awan putih nan berseri, memancar terang karena mentari. Ku pandangi juga bangunan sekolah dan lingkungannya yang asri, kontras dengan warna langit. Mataku terasa teduh dan hatiku terasa bebas. Apalagi hari ini guru favoritku akan mengajar di kelasku. Senangnya! Aku tak sabar menyerap ilmu yang disampaikannya lewat senyumannya yang manis. Amboi, andai semua guru seperti itu.
Aku siswa SMA kelas 1 di sebuah sekolah negeri di Bandung. Aku gadis remaja yang bisa dikatakan cukup cerdas. Sejak SMP aku sering mendapat juara kelas, 10 besar. Wajahku pun, kata orang-orang sih “cantik”. Ah, PDnya diriku ini.hehe Tak apalah. Percaya diri itu bagus loh, “asal jangan kepedean”.hehe Sampai saat ini aku belum punya pacar. Karena memang aku belum berniat untuk pacaran, meski ada sih rasa-rasa ingin pacaran seperti teman-temanku yang lain. Tapi, aku terlalu khawatir. Lagian aku ingin serius dulu belajar. Biarkan orang lain suka, senang, cinta padaku. Yang pasti saat ini aku belum inginpacaran.
Hari-hariku jadi semakin berbeda. Tahukah kau kenapa? Di sekolahku ada mahasiswa-mahasiswa yang praktik mengajar. Ada salah satu mahasiswa cowok. Duh, pertama kali meliat tampilannya aku langsung terpesona. Selama ini aku jarang melihat lelaki muda yang berpenampilan dan berlaku laiknya orang dewasa seperti dia. Apa ini yah yang namanya cinta?
Semakin lama ku memperhatikan dan  berinteraksi dengannya, perasaan kagum itu semakin kuat saja. Dia mengajar di kelasku.  Jadi kau bisa bayangkan bagaimana hati ini tak merekah bergairah, saban hari yang ia tampilkan hanyalah kebaikan di mataku. Apalagi ketika ia memanggil namaku, katanya “Nah, Lia yang cantik dan baik hati, bisa kau isi soal nomor delapan?” Aduhai kawan, bahagianya hatiku. Hati ini merasa kalau dia sungguh memperhatikan aku. Rasa-rasanya, aku ingin sekali memiliki dia.
Tapi aku bingung. Tak pantas rasanya seorang murid jatuh cinta kepada gurunya. Lagian apakah dia juga mau denganku yang masih bau kencur ini. Ah, setidaknya aku ingin dia tahu kalau aku suka dia. Oh my God, help me please! Aku punya nomor handphonenya. Kalau aku mau, kuungkapkan saja perasaan ini melalui sms. Tapi itu konyol. Mau disimpan dimana mukaku jika saja dia cuek atau lebih dari itu mengubah sikapnya kepadaku ketika mengajar di kelas. Ah, cinta ini membunuhku. Kenapa harus dia. Kenapa tidak yang lain, temanku yang sebaya. Kenapa hati ini begitu mengaguminya?
Meski perasaan ini sudah dalam. Aku tak mau jika perasaan ini membuat hidupku berantakan. Aku bukan orang bodoh yang dengan cinta membuatku lalai dengan tugas-tugasku. Kujalanai hari-hariku di sekolah bersama teman-teman seperti biasa. Tapi tetap saja, rasa kagumku, atau mungkin cinta, kepada guru favoritku itu belum juga padam. Biarlah dia jadi penyemangat hidupku. Mungkin saja Tuhan sedang mengujiku di usia remaja yang labil ini. Mungkin juga Tuhan ingin menguji keseriusanku dalam belajar. Terimakasih Tuhan, di tengah-tengah perasaan cinta yang menggebu ini, kau masih membiarkan pikiranku berjalan sebagaimana mestinya. Aku tak mau buta karena cinta.
Aku masih kagum padanya. Aku ingin lebih tahu banyak tentang guru favoritku itu.  Kubaca-baca profil facebooknya. Apa saja kesibukannya, hobinya, apa saja. Kupandangi juga foto-fotonya. Rasanya ingin kusimpan foto-fotonya di laptop mungil kesayanganku. Tapi tak perlulah. Nanti ketahuan teman-teman, bisa berabe. Malu euy! Lagian mungkin tak perlulah. Aku tak ingin rasa ini ternoda oleh “kelebaian”. Aku hanya ingin mencintainya dengan sederhana, dengan isyarat, yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada. Kata-kata itu adalah puisi seorang pujangga yang kuambil dari buku pelajaran Bahasa Indonesia.hehe
Dan akhirnya aku semakin tak mengerti, kawan. Karena baru-baru ini kuketahui bahwa guru favoritku itu tak ingin pacaran sampai menikah. Ah, aku masih terlalu lugu untuk mengerti. Kenapa dia bisa begitu. Apakah bisa menikah tanpa pacaran? Apakah dia homo? Ah, terlalu berlebihan pikiranku ini. Aku sampai pada pencarianku tentang hal ini. Akankah kusampaikan? Tak perlulah! Tapi, aku sangat bisa menerima alasan-alasan tersebut. Bahkan aku semakin kagum dengannya. Tapi tampaknya aku belum bisa mengikuti jejaknya. Tak terbayangkan olehku jika saja aku “menikah tanpa pacaran”. Semoga saja nanti dia jadi jodohku. Ah, apa bisa?hihihi^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar