Jangan lupa membagikan artikel ini setelah membacanya
Tak
ada satu agama di dunia ini yang begitu memperhatikan umatnya dalam
masalah adab, etika, bahkan terhadap hal-hal sekecil pun, kecuali agama
Islam. Bahkan untuk berbicara dan menelepon terhadap lawan bicara, para
ulama telah menggariskan beberapa landasan dan adab-adabnya.
Sesungguhnya
pesawat telepon dengan segala kemudahannya telah memegang peran yang
sangat penting dan memberikan jasa yang besar berupa penghematan banyak
hal, baik waktu, biaya, dan transportasi.
Para ulama
pun telah membahas masalah telepon ini beserta adab-adab dalam
menggunakan perangkat ini. Hal-hal apa saja yang perlu dijaga dan
penting untuk diperhatikan. Seorang di antaranya, Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid. Beliau menulis sebuah kitab berjudul “Adabul Hatif” (Adab Menelepon) dengan sangat bagus, yang mendapat pujian.
Telepon
genggam, ponsel (telepon seluler) atau HP (handphone) sesungguhnya sama
seperti telepon biasa. Hanya saja ponsel memiliki beberapa fasilitas
khusus yang tidak dimiliki telepon rumah biasa.
Salah satu
yang membedakan adalah, ponsel lebih bersifat pribadi dan hanya
dipegang oleh satu orang tertentu (pemiliknya). Berbeda dengan telepon
rumah yang biasanya dipasang di tempat umum, misalnya rumah atau kantor.
Tidak
disangkal, ponsel merupakan suatu anugerah yang besar. Sehingga dengan
ponsel itu, seseorang bisa menyelesaikan banyak urusannya secara lebih
cepat dan lebih mudah. Tetapi perlu diperhatikan pula adanya hal-hal
yang bisa menyebabkan hilangnya nikmat syukur pada anugerah besar ini.
Ada
beberapa catatan penting agar penggunaan piranti ini lebih bijak dan
berhati-hati, sehingga penggunaan piranti ini benar-benar memberikan
manfaat seperti yang diharapkan, serta tidak menyebabkan datangnya
kemudharatan bagi si empunya.
BEBERAPA ETIKA
Beberapa etika yang perlu diperhatikan dan dijaga berkaitan dengan penggunaan media digital ini antara lain:
Pertama: Menyingkat pembicaraan.
Percakapan melalui media telepon hendaknya dilakukan sesingkat mungkin
untuk menghindari pemborosan uang/pulsa jika tidak ada keperluan
mendesak, dan guna tidak mengganggu lawan bicara dengan pembicaraan yang
panjang. Maka disarankan bagi seseorang yang menelepon untuk menyingkat
pembicaraannya ketika menanyakan suatu hal, menghindari pembicaraan
yang terlalu lama berbasa-basi.
Hendaknya
dia menahan diri untuk tidak terlalu sering menelepon tanpa keperluan
yang benar-benar penting. Juga jangan suka mengumbar kata-kata saat
menelepon. Karena ada sebagian orang yang betah berlama-lama saat
menelepon hingga berjam-jam.
Dalam kitabnya Adabul Hatif,
Al-Allamah Syaikh Bakar Abu Zaid berkata, “Hindarilah berlebihan dalam
berbicara melalui telepon, sehingga menjadikanmu kecanduan menelepon.
Mengingat banyak orang yang telah terjangkit penyakit ini. Sejak bangun
tidur, ia sudah menyibukkan diri dengan menelepon dari rumah satu ke
rumah yang lain, dan dari satu kantor ke kantor lainnya, sekedar mencari
kepuasan belaka dan mengganggu orang lain. Terhadap orang seperti
mereka ini, kita hanya bisa berdoa dan menasihatkan agar mereka segera
berhenti dari kebiasaan buruknya yang berlebihan (dalam mengumbar kata)
itu”. (Adabul Hatif: 32-33).
Kedua, Tidak menyusahkan penerima telepon.
Misalnya menelepon orang dan mengujinya dengan pertanyaan: “Apakah kamu
mengenalku?” Ketika dijawab “Tidak”, malah mencela dan menyalahkannya
karena sudah tidak mengenalnya lagi atau karena tidak menyimpan nomor
ponselnya. Padahal si penerima kadang lebih tua darinya, lebih alim atau
terpandang. Mungkin dia memang tidak bisa menyimpan nomornya di ponsel
atau disebabkan kapasitas ponsel yang penuh dan tidak mampu menampung
nomor lebih banyak.
Maka
selayaknya si peneleponlah yang harus memperkenalkan diri di awal
pembicaraan jika memang ingin dikenali. Hindarilah cara menelepon yang
menyusahkan tersebut.
Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah, berkata: Aku datang kepada Nabi, lalu aku
memanggil beliau. Beliau bertanya: Siapa?” Maka aku jawab: “Saya”.
Beliau keluar sambil berkata: “Saya… saya…” (menunjukkan beliau tidak
suka dengan jawaban “saya” tersebut). [HR. Bukhari: 6250, Muslim 2155]
Ketiga: Menjaga perasaan penerima telepon dan tidak membuatnya tersinggung.
Mungkin dia sedang sakit atau sedang di tempat yang tidak layak untuk
ngobrol, misalnya di masjid atau saat pemakaman. Atau sedang berbicara
di forum orang banyak yang dia tidak ingin memotong pembicaraan mereka,
dan sebagainya. Bila ternyata panggilan tidak dijawab, atau dijawab
dengan sangat singkat, maka hendaknya si penelepon memaafkan dan
memaklumi keadaannya. Serta tidak berburuk sangka kepadanya. Dan bagi si
penerima telepon hendaknya memberi tahu keadaannya, atau menjawab
dengan singkat pada saat ada kesempatan, yang bisa dipahami oleh
penelepon bahwa dia sedang berada di tempat yang belum bisa bicara
panjang lebar. Dengan begitu akan lebih menenangkan hati dan jauh dari
prasangka.
Keempat: Mematikan ponsel atau mengaktifkan tanpa nada (mode silent, shamit, diam) saat memasuki masjid.
Tujuannya agar tidak mengganggu orang yang shalat dan mengurangi
kekhusyu’an mereka. Jika terlupa mematikan ponsel atau memasang mode
silent, lalu tiba-tiba ada yang menelepon, segeralah matikan atau
hilangkan suaranya seketika itu juga. Karena sebagian orang membiarkan
ponselnya tetap berdering, bahkan dengan nada musik yang mengganggu.
Tidak dimatikan, tidak juga diredam suaranya dengan alasan takut
melakukan gerakan selain gerakan shalat. Padahal perlu dia ketahui bahwa
gerakannya mematikan ponsel tersebut adalah untuk kekhusyu’an
shalatnya, bahkan untuk jama’ah lainnya secara umum.
Sebaliknya
kita juga harus berlapang dada jika ada orang yang lupa mematikan
ponselnya. Tidak serta merta menegurnya dengan keras dan memandangnya
dengan sinis. Terutama jika dia orang yang mudah tersinggung, atau mudah
marah. Karena mungkin saja dia tidak sengaja dan hanya lupa. Sehingga
tidak seharusnya diperlakukan dengan perlakuan yang menyakitkan.
Cukuplah
bagi kita teladan yang baik pada diri Rasulullah ketika beliau sangat
berlemah lembut terhadap seorang Badui yang kencing di masjid. Beliau
memerintahkan untuk menyiram bekas air kencing itu dengan setimba air.
Abu Hurairah berkata: “Seorang
badui berdiri lalu kencing di masjid. Seketika itu juga orang-orang
yang hadir menghardiknya. Tapi Nabi berkata pada mereka: “Biarkan dia
selesai. Lalu siramlah kencingnya dengan setimba air. Sesungguhnya
kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit.” (HR. Bukhari 213)
Kelima: Menghindari penggunaan nada dering lagu dan musik.
Karena di dalamnya terdapat larangan keharaman dan celaan terhadap akal
orang yang menggunakan nada lagu dan musik tersebut. Karena hal ini
sangat mengganggu, terlebih jika sampai dipergunakan dalam masjid atau
majlis-majlis umum.
Keenam: Tidak menggunakan ponsel pada saat berada di majelis ilmu atau pada forum-forum besar secara umum.
Karena hal itu bisa mengurangi wibawa majelis dan mengganggu orang yang
sedang menuntut ilmu. Menyakiti perasaan pembicara yang sedang
menyampaikan pelajaran atau materi, dan menimbulkan cercaan terhadap
pengguna ponsel tersebut.
Disarankan
agar tidak menelepon atau menjawab telepon ketika sedang berada dalam
suatu pertemuan yang dipimpin oleh orang yang mulia, diisi oleh
pembicara tunggal, atau terdapat orang yang lebih tua dan dimuliakan.
Karena menelepon atau menjawab panggilan telepon pada saat itu bisa
memutuskan pembicaraan dan mengganggu konsentrasi hadirin. Serta merusak
etika berbicara dan bermajlis.
Abu Tammam
berkata: “Siapakah yang engkau buat murka atau kau bodohi, sedangkan ia
membalasnya dengan kesabaran dan kearifan kau lihat dia memperhatikan
pembicaraan dengan sungguh-sungguh dan dengan sepenuh hatinya padahal ia
mungkin lebih memahaminya”
Menelepon
atau menjawab telepon pada kondisi di atas dimaklumi apabila memang
darurat atau ada kebutuhan mendesak yang dikhawatirkan hilangnya
kesempatan setelah itu. Tentu dengan tetap menjaga agar tidak
memperpanjang percakapan. Dimaafkan juga bagi pemimpin majlis atau orang
tua untuk menelepon atau menjawab panggilan telepon. Begitu pula pada
pertemuan biasa dengan keluarga atau teman-teman, maka tidak mengapa
menerima atau menelepon.
Sangat bijaksana jika seseorang yang akan menelepon untuk minta izin terlebih dulu dan keluar dari forum.
Ketujuh: Jangan merekam pembicaraan atau mengaktifkan suara luar di tengah orang banyak tanpa sepengetahuan lawan bicara.
Kadang hal itu terjadi ketika seseorang menelepon salah seorang
temannya atau sebaliknya dia yang ditelepon, diam-diam dia merekam
pembicaraan tersebut. Atau memperdengarkan suaranya melalui speaker
luar, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mendengar pembicaraan
tersebut. Perbuatan ini tentu tidak pantas dilakukan oleh orang yang
berakal, terutama jika pembicaraan itu adalah pembicaraan yang bersifat
khusus atau rahasia. Hal ini bisa menjadi bagian dari jenis khianat atau
bentuk adu domba. Lebih tidak pantas lagi jika lawan bicara adalah
orang yang berilmu, lalu dia merekam semua yang dibicarakannya tanpa
sepengetahuannya, kemudian dia sebarkan melalui media internet atau dia
tulis ulang dengan melakukan penambahan dan pengurangan.
Syaikh Bakar Abu Zaid, dalam kitabnya Adabul Hatif berkata, “Tidak boleh bagi seorang muslim yang menjaga amanah
dan tidak menyukai bentuk khianat merekam pembicaraan orang lain tanpa
sepengetahuan dan seizinnya. Apapun bentuk pembicaraannya. Baik tentang
agama maupun masalah dunia. Seperti fatwa, diskusi ilmiah, kajian
ekonomi, dan sebagainya”. (Adabul Hatif: 28)
Beliau
melanjutkan, “Apabila engkau merekam pembicaraannya tanpa izin dan
pengetahuannya, maka itu termasuk makar, muslihat, dan pengkhianatan
terhadap amanah. Apabila engkau menyebarkan rekaman tersebut kepada
orang lain maka lebih besar lagi khianatnya.
Lebih-lebih
jika engkau mengedit, merubah pembicaraannya dengan mengurangi, dengan
mendahulukan atau mengakhirkan atau bentuk bentuk lain dari bentuk
penambahan atau pengurangan, maka engkau telah melakukan kesalahan yang
bertingkat-tingkat dan engkau terjatuh pada pengkhianatan yang sangat
besar dan tidak bisa ditolerir.
Kesimpulannya,
perbuatan merekam pembicaraan orang lain, baik melalui telepon atau
media lainnya, jika tanpa sepengetahuan dan seizin orang tersebut, maka
tindakan tersebut adalah tindakan maksiat, khianat, dan mengurangi
keadilan seseorang. Tidak ada yang melakukannya kecuali orang yang
dangkal ilmu agamanya, akhlak, dan etikanya. Terlebih jika
pengkhianatannya bertingkat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Maka
bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah, jangan khianati amanah yang
kalian emban dan jangan khianati saudara kalian”. (Adabul Hatif: 29-30).
Kedelapan: Menjaga sopan santun dalam menulis pesan singkat.
Kemampuan kirim-terima pesan singkat (SMS) memang merupakan salah satu
fitur yang digemari pada ponsel. Namun pengguna ponsel yang berakal
haruslah memperhatikan tatakrama dan aturan dalam ber-SMS. Hendaknya dia
menulis SMS dengan bahasa yang indah, mengandung pelajaran, kabar
gembira, pelipur duka atau menyenangkan. Bagus juga berisi pesan-pesan
yang mengandung hikmah, dzikir, nasehat, kata mutiara atau semacamnya.
Kesembilan: Meneliti kebenaran suatu pesan.
Jika suatu pesan singkat (SMS) mengandung suatu informasi, maka
konfirmasikan dulu kebenarannya sebelum mengirimnya. Jika berisi suatu
berita, pastikan dulu bahwa berita tersebut benar adanya. Karena mungkin
berita itu akan diteruskan ke orang lain. Pengirim mestinya paham bahwa
pesannya bisa saja berpindah tangan, dan tersebar kemana-mana. Bila
pesan baik yang dia kirimkan, dia akan mendapatkan manfaatnya. Namun
jika pesan buruk yang dia sebarkan, maka bersiaplah menuai akibatnya.
Maka perhatikanlah pesan yang akan dia kirimkan itu, akan mendatangkan
kebaikan ataukah justru berdampak buruk.
Hal-hal
yang juga perlu diwaspadai adalah adanya kebiasaan menulis nasehat
melalui pesan singkat untuk melakukan amalan-amalan tertentu tanpa
memperhatikan hukumnya syar’i atau tidaknya. Hal seperti ini tidak layak
dilakukan. Karena hal itu bisa menjerumuskan seseorang ke dalam hal-hal
yang diada-adakan dan bid’ah.
Adapun saling menasehati agar mendoakan kaum muslimin, melaknat musuh-musuh agama, memanfaatkan waktu dan tempat dengan kebaikan dan semisalnya maka hal itu boleh. Tanpa mengkhususkan dengan doa tertentu.
Kesepuluh: Hindari pesan-pesan SMS yang tidak baik.
Misalnya mengandung kata-kata jorok, celaan, gambar tak senonoh atau
foto-foto porno. Atau ucapan yang memiliki dua makna, baik dan buruk.
Pada saat awal membaca pesan tersebut yang ditangkap adalah makna buruk,
namun setelah diamati dengan seksama diketahui bahwa maknanya adalah
baik. Atau kalimat yang diputus dengan spasi cukup panjang sehingga
lanjutan kalimat tersebut baru terbaca setelah menekan tombol ponsel.
Semua itu menunjukkan perilaku dan etika yang buruk.
Al-Mawardi
berkata: “Dan yang termasuk perkataan buruk, yang wajib dijauhi dan
musti dihindari adalah kata-kata yang bertolak belakang. Mulanya
dipahami sebagai kata-kata buruk. Lalu setelah diteliti dan dipahami
dengan benar ternyata bermakna baik”. (Adabud Dunya Wad Dien: 284).
Dilarang
pula bercanda dengan berlebihan. Atau menggunakan kalimat-kalimat cinta,
terutama terhadap wanita. Karena wanita sangat suka dipuji dan mudah
tergoda rayuan. Ucapan lainnya yang juga dilarang adalah yang mengandung
celaan, fitnah dan lainnya. Semua hal tersebut dilarang karena
menyelisihi syar’i, merusak adab, dan bisa menghilangkan syukur terhadap
nikmat pada perangkat ponsel ini.
Demikianlah
berapa petunjuk dan peringatan penting seputar ponsel berikut
etika-etika yang harus dilakukan dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang
harus dihilangkan. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
nabi kita Muhammad SAW, seluruh keluarga, serta sahabatnya.
________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar