Minggu, 06 November 2011

Review: Pengejar Angin (2011)

Quantcast
Well… sepertinya tidak ada yang dapat menghentikan langkah Hanung Bramantyo untuk terus merilis film-filmnya. Setelah merilis dua film yang lumayan berhasil merebut kesuksesan komersial, Tanda Tanya dan Tendangan Dari Langit, kini sutradara pemenang Piala Citra ini kembali lagi dengan film ketiganya untuk tahun ini, Pengejar Angin. Berbeda dengan dua film sebelumnya, Hanung kali ini berbagi kredit penyutradaraan bersama Hestu Saputra, sutradara berusia 26 tahun yang dahulu pernah menjadi asisten Hanung ketika mengarahkan Get Married 2 (2009). Sayangnya, meskipun telah melibatkan dua nama dalam pengarahan filmnya, naskah cerita Pengejar Angin yang ditulis oleh Ben Sihombing (Senggol Bacok, 2010) harus diakui terlalu lemah dengan banyaknya lubang-lubang penceritaan yang dapat ditemukan di sepanjang penceritaan film.
Pengejar Angin sendiri mengisahkan mengenai kehidupan seorang remaja, Dapunta (Qausar Harta Yudana), yang sekarang berada dalam persimpangan hidupnya: ingin mengejar cita-citanya untuk terus bersekolah atau akhirnya menyerah pada keinginan sang ayah (Mathias Muchus) untuk mengikuti jejaknya dan menjadi seorang bajing loncat di kedalaman hutan Sumatera Selatan. Dapunta sendiri sebenarnya merupakan seorang remaja yang cerdas, sesuatu hal yang membuat gurunya, Damar (Lukman Sardi), begitu berharap agar Dapunta akan mau melanjutkan proses pembelajarannya ke tingkat kuliah sekaligus berusaha untuk menemukan cara agar Dapunta dapat memperoleh beasiswa penuh untuk masa kuliahnya.
Selain memiliki otak yang cerdas, Dapunta yang semenjak lama telah mendapatkan pelatihan ilmu beladiri dari sang ayah juga merupakan seorang pemuda yang memiliki bakat dalam bidang olahraga atletik. Merasa bahwa bakat olahraga tersebut dapat menguntungkan masa depan Dapunta, Damar akhirnya menunjukkan bakat atletik Dapunta tersebut kepada Ferdy (Agus Kuncoro), sahabatnya yang juga seorang pelatih atletik bagi tim nasional Indonesia. Diantara usaha Dapunta untuk mengejar mimpinya tersebut, Dapunta masih harus berhadapan dengan kisah-kisah lain yang mengisi hidupnya: kisah percintaan remajanya yang mulai berkembang dengan Nyimas (Siti Helda Meilita), persaingannya dengan teman sekolahnya, Yusuf (Giorgino Abraham), serta konflik internal antara dirinya dan ayahnya yang terus saja meruncing.
Awalnya, Pengejar Angin mampu menunjukkan konsistensi cerita khas seorang Hanung Bramantyo lainnya: bercerita dengan ringan, tidak terlalu cepat namun tetap memiliki esensi cerita yang begitu kuat. Bahkan sebuah gimmick mengenai suksesnya pelaksanaan beberapa program Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan untuk rakyatnya yang dimasukkan ke dalam cerita berhasil menyatu dan tidak terasa seperti sebuah hal yang dipaksakan untuk ada. Konflik awal antara karakter Dapunta dengan karakter ayah dan saingan utamanya, Yusuf, juga mampu terbentuk dengan baik. Sayangnya, Pengejar Angin secara perlahan mulai kehilangan fokus ceritanya seiring dengan pertambahan banyaknya plot-plot cerita tambahan.
Di bagian pertengahan film, beberapa plot cerita tambahan secara perlahan mulai menggeser keberadaan berbagai konflik yang semenjak awal telah terbentuk. Plot-plot cerita tambahan ini sebenarnya masih berkaitan erat dengan kehidupan karakter utamanya, Dapunta. Namun, tidak satupun dari plot cerita tambahan tersebut mendapatkan eksekusi dan penyelesaian yang sempurna. Semua terasa hadir dengan begitu dangkal dan tidak pernah benar-benar mampu untuk tampil menarik. Bahkan, semakin lama Pengejar Angin berjalan, plot cerita yang dihadirkan terasa semakin samar. Ben Sihombing sepertinya kebingungan untuk memberikan penyelesaian bagi setiap plot cerita yang dihadirkan dan hasilnya seringkali banyak bagian cerita tersebut mendapatkan penyelesaian cerita yang begitu mendadak. Deretan inkonsistensi dalam jalan cerita inilah yang membuat Pengejar Angin terasa bertele-tele, kadang terlalu ambisius dan akhirnya gagal membentuk sebuah koneksi emosional kepada para penontonnya.
Pengejar Angin, yang proses produksinya didukung oleh Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, sepertinya juga dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk menunjukkan persiapan mereka dalam menyambut pelaksanaan Sea Games XXVI yang akan berlangsung pekan mendatang. Jalan cerita yang mengarah ke arah pelaksanaan ajang kompetisi olahraga bagi para atlet di Asia Tenggara tersebut dimasukkan mulai pada bagian pertengahan cerita. Sayangnya, berbeda dengan gimmick mengenai suksesnya pelaksanaan beberapa program Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan yang diletakkan di awal film, gimmick pelaksanaan Sea Games XXVI terasa begitu dipaksakan untuk ada. Dipaksakan untuk menyenangkan beberapa pihak sekaligus dipaksakan untuk digunakan untuk memberikan happy ending pada kehidupan beberapa karakternya.
Untungnya, walaupun terdapat kelemahan di berbagai bagian naskah cerita Pengejar Angin, departemen akting film ini mampu menampilkan kemampuan akting terbaik mereka. Khususnya Qausar Harta Yudana, pemeran karakter Dapunta yang tergolong merupakan wajah baru di dunia akting. Qausar tampil dengan aliran emosi yang tepat di setiap adegan. Begitu pula dengan pemeran karakter Nyimas, Siti Helda Meilita, serta pemeran karakter Yusuf, Giorgino Abraham, yang menunjukkan perkembangan kemampuan akting yang signifikan semenjak tampil dalam Tendangan Dari Langit – walaupun dua karakter yang ia mainkan memiliki perbedaan karakterisasi yang sangat minimal.
Begitu pula penampilan para pemeran pendukung, tampil memuaskan. Sayangnya, penulisan naskah film ini mencegah untuk setiap pemeran pendukung mampu menampilkan permainan akting yang lebih mendalam lagi akibat dangkalnya karakterisasi minor yang ada di dalam jalan cerita film ini. Karakter seperti orangtua Dapunta, Pak Damar dan Ferdy memiliki peran yang cukup berarti dalam jalan cerita. Namun, karakter-karakter tersebut gagal untuk digali dengan sempurna dalam perjalanan pengisahan Pengejar Angin. Tidak ada yang istimewa dari tata produksi film ini. Tidak ada gambar yang semegah tampilan Tendangan Dari Langit dan tidak ada pula tata musik yang mampu tampil mengikat sisi emosional para penontonnya.
Penonton yang mengharapkan sebuah sajian baru yang lebih memikat dari sutradara Hanung Bramantyo sepertinya harus siap sedikit merasa kecewa dengan kualitas yang ditampilkan oleh Pengejar Angin. Merupakan karya Hanung yang bekerjasama dengan Hestu Saputra, Pengejar Angin gagal untuk tampil maksimal akibat kurang tergalinya berbagai sisi cerita yang terdapat dalam naskah cerita film ini. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah sang penulis naskah, Ben Sihombing, memasukkan terlalu banyak konflik dan plot cerita tambahan yang hasrus dilalui oleh karakter utama cerita film ini, Dapunta, untuk kemudian gagal memberikan sebuah penyelesaian yang sempurna bagi setiap masalah yang telah dihadirkan. Pengarahan Hanung terhadap para pemainnya, terutama terhadap Qausar Harta Yudana, berbuah manis. Masih dapat dinikmati, namun jauh dari kualitas film-film yang telah dihasilkan seorang Hanung Bramantyo lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar