Sabtu, 25 Februari 2012

Mahasiswa dan Murida malasa mencatat

Suatu ketika saya mendapat kesempatan untuk mengisi ceramah di kalangan pelajar tentang “Mewaspadai Bahaya Media”. Melalui infocus (slide projector), saya menjelaskan tentang dampak media yang bisa mendorong pada hal positif namun sebaliknya menjerumuskan pada hal negartif. Mereka melongo hampir tanpa berkedip melihat tayangan slide demi slide.
Hingga akhir presentasi saya, mereka tetap konsentrasi duduk sambil menyimak. Saya memperhatikan satu persatu pelajar yang ikut acara ini, ternyata tak satu pun mencatat. Jangankan mencatat, buku catatan pun mereka juga tidak membawanya. Kemudian saya mencoba memancing sebuah pertanyaan untuk melihat sejauhmana mereka menangkap materi saya.
“Apa dampak positif dari media?”
Awalnya hening. Kemudian hanya satu orang yang berani dan bisa menjawab. Saya kemudian bertanya pada mereka dengan pertanyaan lain.
“Sudah lupa,” jawab mereka
Saya pikir jawaban lupa ini disebabkan mereka tidak mencatat apa yang mereka dengar dan lihat dari presentasi saya, karena pelajar yang bisa menjawab ternyata mencatat apa yang saya sampaikan. Saya menemukan kejadian yang terkait dengan kejadian di atas. Beberapa anak sekolah terlihat hanya membawa buku satu buah di dalam tasnya. Ada juga pelajar yang membawa satu buah buku lalu dilipat dan dimasukkan dalam kantong celananya. Ternyata budaya malas membawa catatan dari dulu hingga sekarang tidak berubah.
Saya teringat sebuah yang membuat saya memahami dengan dalam pentingnya mencatat dan membiasakan mencatat segala hal. Pada sebuah diskusi tentang konservasi burung di Indonesia, ada sebuah hal menarik yang sulit saya lupakan. Acara ini sebagain pesertanya berasal dari SMU di Bogor dan Jakarta. Pemateri tentang perkembangan penelitian burung di Indonesia yaitu Bapak Yus Rusila Noor , seorang ornitolog (ahli burung) spesialis burung air memulai pembiacaraanya dengan sebuah pertanyaan menarik”
“Siapa yang mengisi buku catatannya selama birdwatching (pengamatan burung) tadi? Coba tunjukkan buku kalian.”
Terlihat hanya kurang dari separuh birdwatcher (pengamat burung) yang mengacung, termasuk saya. Saya pun hanya mengisi sedikit catatan selama 3 jam berkeliling Kebun raya Bogor sejak pukul 7.00 pagi. Maklum ini untuk pertama kalinya saya melalukan pengamatan burung secara serius dengan para pengamat burung yang berpengalaman.
“Ilmu tentang burung berkembang dari buku-buku catatan kecil seperti yang kalian pegang. Ini buku yang saya pakai sejak tahun 1980-an.”
Pak Yus, demikian beliau dipanggil, memperlihatkan buku tulis kecil yang tebal, yang sering disebut “notes” dengan cover tebal yang dilekatkan lakban hitam. Bukunya nampak kucel dan warna nya buram. Namun ketika beliau membuka lembar demi lembar isi catatannya terlihat begitu rapi dan detil. Terlihat pula sketsa burung meski sangat sederhana. Luar biasa, bayangkan sudah 30 tahun buku dan isinya masih terawat.
“Buku kecil tebal ini isinya lebih rapi an detil. Sedangkan untuk di lapangan, saya memakai ini.” Beliau menunjukkan sebuah buku lebih kecil seukuran 15 x 8 cm dengan spiral dipinggirnya.
“Yang kecil ini saya catat apa pun yang saya ingat, termasuk berapa ongkos naik ojek beli gorengan, beli buras, (nasi yang dibungkus daun berukuran kecil seperti lontong) dan lain-lain. Setelah itu baru dipindah ke buku yang lebih besar dengan catatan yang lebih rapi dan mudah dipahami.”
Beliau lalu melanjutkan:
”Kenapa saya menunjukkan buku kecil ini?” Pak Yus membuka sebuah pertanyaan renungan pada peserta diskusi.”
”Kalian jangan terlalu percaya diri dengan otak atau memori. Paling lama kita hanya bisa mengingat sesuatu dalam hitungan jam, setelah itu lupa. Catatan ini akan sangat berguna untuk secara pasti kita mengingat obyek dan kejadian yang kita temui secara detil. Tulis apa saja yang kalian temukan. Milikilah buku catatan sebanyak mungkin. Teman saya dari Jerman ini setiap bulan mengganti buku catatan tebalnya dengan yang baru.”
Beliau menunjuk wanita Jerman yang diketahui bernama Bea Maas disampingnya yang juga menjadi pembicara dalam diskusi ini.”
”Yeah, I always start new book every month. Everything what I thought, I have to write here.”
Tegas Miss Bea Maas, seorang peneliti burung Kandidat Doktor dari Gottingen University seolah menegaskan betapa pentingnya mencatat segala hal.
Di masyarakat kita, budaya mencatat sangatlah minim. Kita lihat masyarakat lebih suka mendengar dan berbicara dari pada mencatat dan menuliskan kembali catatannya. Lihatlah ketika acara seminar, kuliah, pelatihan atau kunjungan, berapa banyak orang yang mencatat di acara tersebut. Mereka terlihat sangat percaya diri dengan otak mereka. Akhirnya, orang-orang yang tak mencatat itu kebingungan saat ada sesi evaluasi karena tak ada yang bisa diingatnya kembali.
Orang yang tak mencatat merasa aman karena sekarang pembicaraan bisa direkam. Catatan bisa pinjam dan menfoto copynya dari teman. Diktat atau modul juga tinggal dibeli. Namun seberapa jauh kepahaman orang yang tak pernah mencatat saat membaca catatan orang lain yang belum tentu bisa dibaca. Seberapa ingat orang tak mencatat ketika mendengar rekaman yang kita tak mengikutinya.
Budaya mencatat menjadi budaya di kalangan bangsa yang maju. Saya sendiri sering membaca sebuah buku laris yang ternyata lahir dari catatan-catatan perjalanan. Bahkan sebuah buku ilmiah yang sangat berguna, seperti buku panduan lapangan pengenalan jenis tumbuhan dan hewan lahir dari ketekunan peneliti merawat dan menuliskan kembali catatannya. Para ulama juga melahirkan karya besar dengan tekun membuat catatan dan merawatnya. Kitab-kitab suci terpelihara karena dituliskan kembali dengan detil oleh penulis yang tekun. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau budaya mencatat ini hilang, maka ilmu pun akan lenyap.
Bila pelajar atau anak sekolah saja sudah malas mencatat, jangan berharap di masa depan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya akan mengalami kemajuan di negeri ini.
”Ilmu itu laksana binatang buruan, maka jeratlah ia dengan menuliskannya.” (Ali bin Abi Thalib RA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar