Sabtu, 25 Februari 2012

Mahkota Sedap Malam

Mentari telah mentup hari ini beberapa jam lalu, senja yang memerah sudah usai. Bintang tak menampakkan diri sampai menggelapkan sejauh mata memandang angkasa. Bulan yang mestinya betengger sempurna tepat jam 8 pun terhadangi awan hitam, samar-samar pun tidak. Terlihat kelip-kelip di langit jauh sana, nampaknya air telah membasahi tanah dibawahnya. Giliran angin yang mengurungi hingga pori-pori menimbul satu-persatu. Membawa mendung kearah sini, tempat ini. Tak kan lama lagi dingin akan menelusuri tubuh ini. Angin yang selalu menerjang membuat diri lapar. Ku tarik gas memenuhi permintaan untuk dapat melewati malam ini tanpa siksa. Mengambil tempat duduk sebelah kiri kasir,dengan meja kecil berpasang dua kursi ku memesan makan dan kutunggui. Sedikit lama menunggu, pandang mata ku sebarkan kesana kemari. Di sebelah sana, bersimbuh puspa indah, puspita malam ini. Kutatap, terus dan terus.
Sangat anggun, bitik hitam tertitik diujung dagu sebelah kiri itu menyempurnakan keayuannya. Semua perempuan memiliki titik seperti dia punya memang selalu membuat dirinya ayu. Ada nilai tambah, mau aku memilikinya. Bibir mungil warna natural. Bila berucap mungkin pembicaraanya itu mengandung racun, tapi tak membunuh. Rambutnya sepunggung terurai tak bergulung, potongannya semakin kebawah semakin mengerucut, rapi berbaris jatuh teratur. Poni yang melengkung sempurna searah dengan titik itu mengarah ke tempat dudukku. Dia tak tau sedang aku perhatikan-mungkin. Tempatku ini memang sangat tepat memperhatikan seluruh gelagat makhluk indah ini.
Sering ia membetulkan letak poni yang acap kali menutupi mata sebelah kirinya, bila kepala bergoyang kekiri, kanan. Gerak tangan yang kemudia menyibak membenarkan itu selalu dilawan arah dengan sedikit gerak kepala mungilnya. Ujung rambut yang tipis itupun turut bergerak mengayun, kemudian kembali kebarisannya mesing-masing. Mata yang terang tak berhalang rambut nampak tak begitu tajam, seolah terlihat adanya pengamatan dan penilaian yang tak luput dari setiapnya. Sesekali ia mengecilkan kedua belah bibirnya yang seakan tersedot masuk itu sungguh-sungguh sangat menawan, dagunya terlihat mengisut dengan titik laksana mutiara menyegarkan pandang ini. Entah mengapa terjadi tatapan mengharuskan, jangan sampai tertinggal, harus teramati betul, agar dapat mengabadikannya yang indah dan sempurna serupa keinginan.
Sudah saatnya aku menyantap pesanku. Tanpa menengok pun dapat aku melihatnya, lurus segaris. Terus kuamati, ku cermati. Hanya hitungan menit makanku ludes kusambar, jangan smpai menganggu. Ia memang sedang memesan makan. Sesekali terlihat seretan sandal beradu lawan lantai semen kasar. Sungguhya ia sedang bosan menunggu makannya tiba - kiraku. Sudah 20 menitan memang ia terdiam bingung disitu, minumpun belum. Rasaku memang la datang setelah banyak meja penuh terisi pemesan. Harapku tenang, biarkan saja makannya tak usah dihidangkan sampai bisa aku berlama-lama mengarahkan pandang, agar posisinya disitu dapat terlukis dengan jelas dan utuh.
Masih, kuawasi, bunga yang mekar dihadapku. Tingginya yang kira-kira 170 cm plus tubuh ramping berdada lazim pada umumnya itu kian menambah pesonanya. Lagi kulit kuning langsat bersih segar tersuguh elok di pandangku. Aku menuduh dalam pribadinya, senjata yang ia keluarkan menjatuhkan setiap pria adalah senyum dan kemolekan tubuhnya. Pasti akan terjungkal-jungkal pria yang dapat dikalahkannya. Khayal, pun diri ini jelas tak akan berani melawan sebelum bertanding. Pasti enteng untuk dia mendapatkan cinta. Tinggal seberapa tangguh laki-lakinya menopang rasa yang banyak memiliki racun tersebut. Agar dapat sejati dan sempurna hingga pengakhiran.
Kadang ia pandangi segala kelilingnya yang ramai itu, sesekali ke dapur sebagai pintu yang ia tunggui seseorang keluar darisana mambawa pesanannya. Belum lagi terlihat datang, ia pantengi lagi handphone ditangannya lagi, sungguh gelisah. Namun begitu, raut yang menunggu itu masih mengucurkan daya, tak membosankan.
Antrian lebih awal telah mendapatkan jatahnya. Sekarang gilirannya, sebuah nampan alumunium yang berkelip ketika tersambar sinar lampu mambawa 2 piring, 1 gelas, segera diletakkan dimeja depannya. Dari tempat dudukku terlihat samar-samar yang ia pesan, tapi nampak dari salah satu piring itu mengeluarkan uap panas, berkuah dan piring yang satunya ialah nasi dan yang ada di gelas itu berwarna terang-mungkin soda, juga air tawar.Pelan perlahan ia mengunyahnya, kemudian sesekali ia memandangi sekeliling sambil menghabiskan kunyahannya dan kembali ia tatap piringnya, menyendoknya kembali, begitu seterusnya.
Duduk yang dibawah penerangan pas itu membuatnya tak luput dari curi pandang tiap orang. Ditambah ia mengenakan jaket tak berlengan berwarna merah sedikit kekuningan, menambahi terang keberadaannya. Ia seperti sedang berdiri ditengah panggung dan sorot sinar hanya tertuju padanya, dari meja berpasang empat bangku, hanya ia seorang yang mendudukinya. Pun meja sampingnya masih kosong, benar-benar akan menjadi perhatian setiap manusia kelilingnya.
Makan ku tlah usai lama tadi, namun aku tak segera meninggalkan mejaku. Walau piring dan gelas di mejaku telah diusung masuk palayan, aku telah memesan kembali segelas minum lagi, agar dapat berlama-lama sebagai alasan. Segera setelah usai, ia segera menyeruput gelasnya mengakhiri santap malam ketika itu. Tisu yang ada di meja ditarikya panjang-panjang. Ia usap bibir yang sedikit kotor itu, mutiara dagunya pun tak luput. Semakin digosok semakin mengkilap bersih berwarna alami.
Ia tak membiarkan makan yang baru saja itu turun sempurna dalam lambungnya. Ku terus awasi. Ia berdiri, berjalan ke kasir, keluar, hingga kemudian menunggangi sepeda motornya menyusuri jalan kembali. Pelan-pelan mulai jauh, samar dan menghilang dari pandang mata ini. Disini, seuntai bunga sedap malam mengiringi hari yang segera akan terus melaju tanpa harus menilik hari yang telah usai. Puspa yang akan selalu mekar di setiap malam dan terus menebarkan pesona di setiap pijak kaki. Tanpa ia tau siapa dan apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar